Kamis, 18 Agustus 2022

EMPAT KAIDAH DASAR TAUHID

 


Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata:
Aku memohon kepada Allah Yang Mulia Rabb pemilik Arasy yang agung, semoga Dia melindungimu di dunia dan di akhirat, serta menjadikan dirimu diberkahi dimana pun engkau berada. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu termasuk di antara orang-orangyang bersyukur apabila diberi kenikmatan, bersabar ketika tertimpa cobaan, dan meminta ampunan tatkala terjerumus dalam perbuatan dosa, karena ketiga hal itulah tonggak kebahagiaan.

Ketahuilah –semoga Allah membimbingmu untuk menaati-Nya— sesungguhnya al-hanifiyyah (ajaran lurus) yaitu agama yang diajarkan Nabi Ibrahim adalah engkau
beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama (amal) untuk-Nya.

Sebagaimana Allah berfirman, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56).

Apabila engkau telah mengetahui bahwa Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya ibadah tidaklah disebut bernilai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya shalat yang tidak bisa disebut shalat apabila tidak disertai dengan at-thaharah (kondisi suci). Maka apabila syirik menyusupi suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi rusak. Sebagaimana najis menghinggapi orang yang sudah bersuci.

Apabila engkau sudah mengetahui bahwa apabila syirik menyusupi ibadah, maka ia akan menghancurkan ibadah tersebut dan menghapuskan amal, bahkan si pelakunya menjadi tergolong penghuni kekal di neraka, maka kini engkau telah mengetahui bahwa perkara terpenting bagimu adalah mengetahui hal itu. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan dirimu dari perangkap ini; yaitu kesyirikan terhadap Allah. Allah Ta’ala berfirman tentang syirik,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik yaitu bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (An Nisaa`: 48)

Dan hal itu akan mudah engkau pahami dengan mempelajari empat kaidah dasar yang disebutkan Allah Ta’ala di dalam Kitab-Nya :

Kaidah Pertama: Hendaknya engkau mengerti bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah Saw, mereka mengakui bahwa Allah Ta’ala adalah Sang Pencipta (Al-Khaliq) dan Pengatur segala urusan (Al-Mudabbir).

Namun pengakuan mereka ini tidaklah membuat mereka tergolong sebagai orang Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala : 

“Katakanlah, Siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi. Atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan. Dan siapakah
yang mampu mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan siapakah yang mengatur segala urusan, maka pasti mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah, ‘Lantas mengapa kalian tidak mau bertakwa?’” (Yunus: 31)

Kaidah Kedua: Orang-orang musyrik itu mengatakan, “Kami tidaklah berdoa kepada mereka (sesembahan selain Allah, Edt.) dan menggantungkan harapan kepada mereka
melainkan hanya dalam rangka mencari kedekatan diri (kepada Allah) dan untuk mendapatkan syafaat.”

Dalil yang menunjukkan bahwa mereka mencari kedekatan diri adalah firman Allah Ta’ala: 

“Dan orang-orang yang mengangkat selain-Nya sebagai penolong (sesembahan, pen)
beralasan, ‘Kami tidaklah beribadah kepada mereka kecuali karena bermaksud agar mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah pasti akan memberikan keputusan di antara mereka terhadap perkara yang mereka perselisihkan itu. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang gemar berdusta dan suka berbuat kekafiran.” (Az-Zumar: 3)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka juga mengharapkan syafaat adalah firman Allah Ta’ala: 

“Dan mereka beribadah kepada selain Allah; sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan bahaya untuk mereka dan tidak pula menguasai manfaat bagi mereka. Orang-orang itu beralasan, ‘Mereka adalah para pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah kelak.’.” (Yunus: 18)

Syafaat ada dua macam :

Syafaat yang ditolak dan syafaat yang ditetapkan.

Syafaat yang ditolak adalah syafaat yang diminta kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah.

Dalil tentang hal ini adalah firman Allah Ta’ala : 

“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rezeki yang Kami berikan kepada kalian sebelum tiba suatu hari yang pada saat itu tidak ada lagi jual beli, persahabatan, dan syafa’at. Sedangkan orang-orang kafir, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 254)

Syafaat yang ditetapkan adalah syafaat yang diminta kepada Allah. Orang yang diperkenankan memberikan syafaat berarti mendapatkan kemuliaan dari Allah dengan syafaat tersebut. Adapun orang yang akan diberi syafaat adalah orang yang ucapan dan perbuatannya diridhai Allah, dan hal itu akan terjadi setelah mendapatkan izin (dari Allah).

Hal ini sebagaimana Allah berfirman, 

“Lalu siapakah yang bisa memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya?”
(Al-Baqarah: 255)

Kaidah Ketiga: Nabi Muhammad Shallallahu 'Alayhi Wasalam muncul di tengah-tengah masyarakat yang memiliki peribadatan beraneka ragam. Di antara mereka ada yang beribadah kepada malaikat. Ada pula yang beribadah kepada para nabi dan orang-orang saleh. Ada juga di antara mereka yang beribadah kepada pohon dan batu. Dan ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan. Dan mereka semua sama-sama diperangi oleh Rasulullah Saw tanpa sedikitpun membeda-bedakan di antara mereka. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah Ta’ala: 

“Dan perangilah mereka semua hingga tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama (amal) semuanya hanya diperuntukkan kepada Allah.” (Al-Anfaal: 39)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada matahari dan bulan adalah firman-Nya: 

“Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kamu sujud kepada matahari ataupun bulan. Akan tetapi sujudlah kamu kepada Allah yang menciptakan itu semua, jika kamu benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (Fushshilat: 37)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para malaikat adalah firman Allah Ta’ala: 

“Dan Allah tidak menyuruh kamu untuk mengangkat para malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan.” (Ali ‘Imran: 80)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para nabi adalah firman-Nya:

“Ingatlah ketika Allah berfirman, 'Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sosok sesembahan selain Allah’? Maka Isa berkata, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, tidak pantas bagiku untuk berucap sesuatu yang bukan menjadi hakku. Apabila aku mengucapkannya
tentunya Engkau pasti mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib’.” (Al-Maa’idah: 116)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada orang-orang saleh adalah firman-Nya: 

“Sosok-sosok yang mereka seru justru mencari wasilah kepada Rabb mereka; siapakah
di antara mereka yang lebih dekat, dan mereka juga sangat mengharapkan curahan rahmat-Nya dan merasa takut dari azab-Nya.” (Al-Israa`: 57)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada pohon dan batu adalah firman-Nya: 

“Kabarkanlah kepada-Ku tentang Latta, ‘Uzza, dan juga Manat yaitu sesembahan lain
yang ketiga.” (An-Najm: 19-20)

Demikian juga ditunjukkan oleh hadits Abu Waqid Al-Laitsi Radiallahu 'Anhu, dia menuturkan, “Ketika kami berangkat bersama Rasulullah Saw menuju Hunain. Ketika itu kami masih dalam keadaan baru keluar dari agama kekafiran. Orang-orang musyrik ketika itu memiliki sebatang pohon yang mereka jadikan sebagai tempat itikaf dan tempat khusus untuk menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut Dzatu Anwath. Ketika itu, kami melewati pohon tersebut. Lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath seperti Dzatu Anwath yang mereka miliki.’ Rasulullah Saw bersabda, 

‘Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian telah mengatakan sesuatu sebagaimana yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa: ‘Jadikanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan-sesembahan. Musa berkata:
Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bertindak bodoh.’” (Al-A’raaf: 138)

Kaidah Keempat: Orang-orang musyrik pada masa kita justru lebih parah kesyirikannya daripada orang-orang musyrik zaman dulu. Sebab orang-orang musyrik masa lampau hanya berbuat syirik di kala lapang, dan mereka beribadah (berdoa) dengan ikhlas di kala sempit. Adapun orang-orang musyrik di masa kita melakukan syirik secara
terus-menerus, baik dalam kondisi lapang maupun sempit. 

Dalil adalah firman Allah Ta’ala :

“Apabila mereka sudah naik di atas kapal (dan diterpa ombak yang hebat) maka
mereka pun menyeru (berdoa) kepada Allah dengan penuh ikhlas mempersembahkan amalnya. Namun setelah Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka kembali
berbuat kesyirikan.” (Al-‘Ankabuut: 65)

***
Selesai perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
semoga Allah merahmatinya dan memberi balasan dengan
sebaik-baik balasan.
Selesai, segala puji bagi Allah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FIKIH JIHAD FII SABIILILLAH

  Jika berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Sunnah menjadi pelindung  agama Islam agar tetap berada di atas prinsip-prinsipnya yang baku dan...