KONSEP BERASAL DARI
IMAMAH
MILLAH IBRAHIM
BAGIAN 3:
Di antara symbol dari millah yang agung ini, yang telah mulai memudar dari dalam jiwa‐jiwa kebanyakan orang dan dipandang tidak lebih dari sekedar khayalan, adalah gagasan bahwa Umat
Muslim (secara bangsa) harus berusaha untuk bersatu di belakang satu imam (pemimpin), berjuang di bawah panji‐panjinya dan mendukungnya untuk menjaga tanah agama ini dan menerapkan syariat Allah Rabb semesta alam.
Hal ini, pada kenyataannya, merupakan hasil dari sekulerisme yang telah meresapi pikiran manusia di zaman kita, memisahkan antara agama dan negara, antara syariat dan pemerintah, dan memperlakukan Alquran tidak lebih dari sekedar buku nyanyian dan bacaan daripada buku pemerintahan, undang‐undang, dan penegakan hukum.
Lingkungan seperti ini memiliki efek bagi para da’i, di mana mereka mulai terus‐menerus meyakinkan orang‐orang tidak adanya keinginan dari para da’I yang tulus akan kekuasan dan legalitas. Dan Seolah salah satu dari mereka telah rela bagi diri mereka perlakuan menjadi dai yang terkurung dalam penjara thaghut, selama salah satu dari mereka mengkafirkan taghut dan
mengkafirkan mereka yang berperang di jalannya. Dia lebih memilih peran ini daripada hidup bebas
di bawah naungan seorang imam Muslim, menyeru orang lain kepadanya, dan membantu untuk
memperkuat posisinya.
Du'at ini tidak bisa memahami gagasan bahwa Islam bisa memiliki negara dan seorang imam, mereka juga tidak bisa mulai memahami apa harga yang harus kita bayar untuk mencapai hal ini.
Seolah‐olah mereka tidak pernah belajar sejarah Islam dan belajar bahwa usaha ini akan membutuhkan kita dalam hal darah. Seolah mereka tidak menyadari bahwa yang telah mencurahkan darahnya demi alasan ini adalah sebuah kaum yang bersaksi akan laa ilaha illallah.
Akan tetapi, mereka tidak lain adalah bughot (pemberontak) yang halal untuk diperangi, lantaran mereka menolak untuk memberikan bai’at ke imam ini atau itu.
Bahkan seandainya imam itu – setelah dia ditunjuk – membiarkan mereka di atas pemberontakan dan pemisahan mereka, maka imam itu telah berdosa dan tidak dianggap berbuat baik kepada rakyatnya kaum muslimin. Allah Ta’ala telah mengaruniakan kepada kekasih‐Nya, Ibrahim
(Alaihissalam) imamah.
Allah berfirman; “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia
melaksanakannya dengan sempurna.
Dia (Allah) berfirman,“Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin (imam) bagi
seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku ?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji‐Ku tidak berlaku bagi orang‐orang zalim.” (al‐Baqarah: 124).
Allah menjadikan balasan atas sikap Ibrahim yang telah menyempurnakan kalimat‐Nya yang diujikan kepadanya, Dia mengaruniakan kepadanya kedudukan imamah, memuliakannya Dan imamah ini, yang tersebut dalam ayat di atas, tidaklah bermaksud hanya imamah dalam agama saja. Sebagaimana nanti akan dijelaskan oleh banyak ahli tafsir. Namun imamah di sini juga mencakup imamah dalam politik, yang kebanyakan ahli agama menjauhinya, membencinya karena akan
membuat hati terpaut atasnya, dan juga membenci jalan untuk meraihnya.
Orang‐orang hari ini tidak memahami, bahwa imamah yang hakiki di dalam agama, tidak akan diraih kecuali jika para pengemban kebanaran itu berhasil meraih imamah di dalam politik secara total, atas Negara dan warga.
Adapun jika ada seorang individu dari umat ini berusaha untuk menikmati sedikit kebebasan dalam dakwah dan khotbah di bawah pemerintahan thaghut, atau mencari perlindungan dari mereka untuk tujuan menyampaikan dakwahnya, maka dia hanya melompat keluar dari penggorengan
menuju ke dalam api. Juga seperti orang yang haus dan melihat fatamorgana yang dia kira air, namun ketika dia akan mengambilnya dengan tangan, dia tidak mendapati apa‐apa.
Adapun yang mendorong kita untuk berpendapat bahwa lafazh imamah yang dikaruniakan kepada nabi Ibrahim dalam ayat di atas adalah mencakup dua makna, karena tidak diragukan bahwa istilah bahasa dan syariat telah membawa makna keduanya.
Dan mengambil banyak makna dalam satu kata selama tidak terdapat kontradiksi di dalamnya merupakan madzhab paling selamat dalam hal seperti ini, tidak diragukan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar